Ketika kabar jatuhnya Juliana Martins, pendaki asal Brasil, menyebar luas di media sosial, nama Agam Rinjani muncul sebagai salah satu tokoh kunci dalam proses evakuasi. Pria bernama lengkap Abdul Haris Agam ini bukanlah pemandu Juliana saat kejadian, namun ia memilih terlibat langsung dalam misi kemanusiaan di tengah keterbatasan alat dan kondisi ekstrem.
Agam Rinjani dikenal sebagai sosok pendaki senior yang telah lama berkecimpung di dunia pendakian Gunung Rinjani. Meski bukan bagian dari instansi resmi penyelamatan, kepedulian dan pengalamannya di gunung membuatnya sering terlibat dalam berbagai kegiatan sosial dan penyelamatan di kawasan tersebut. Ia memiliki koneksi kuat dengan para porter dan relawan lokal, serta memiliki pengetahuan mendalam tentang medan Rinjani.
Kronologi Jatuhnya Juliana Martins di Rinjani

Juliana Martins, pendaki asal Brasil, dan proses evakuasi oleh tim SAR di lereng Gunung Rinjani setelah insiden jatuh ke jurang pada Juni 2025.
Juliana Martins adalah perempuan asal NiterĂ³i, Rio de Janeiro, Brasil. Berusia 26 tahun, ia melakukan solo trip ke Asia Tenggara sejak Januari 2025 sebagai bagian dari perjalanan spiritual dan petualangannya. Ia dikenal sebagai seorang publicist sekaligus penari tiang profesional (pole dancer) yang aktif di komunitasnya.
Pada 21 Juni 2025, Juliana memutuskan untuk mendaki Gunung Rinjani melalui jalur Sembalun. Ia ditemani seorang pemandu lokal dan lima wisatawan asing lainnya. Pendakian dimulai pada dini hari, dan saat rombongan sampai di titik Cemara Tunggal, Juliana meminta izin untuk beristirahat sejenak karena merasa lelah. Pemandu mengizinkannya, namun meminta agar Juliana menyusul setelah istirahat.
Ketika pemandu dan rombongan mencapai puncak dan menyadari bahwa Juliana tak kunjung muncul, mereka memutuskan untuk kembali ke lokasi tempat istirahat Juliana. Sayangnya, Juliana sudah tidak ditemukan di sana. Tak lama kemudian, mereka melihat cahaya senter dari arah jurang menuju Danau Segara Anak. Dari situ, dipastikan bahwa Juliana telah jatuh ke jurang sedalam kurang lebih 200 meter.
Laporan evakuasi diterima pukul 06.30 WITA. Proses penyelamatan langsung digerakkan dengan melibatkan unsur BASARNAS, TNI, Polri, BPBD Lombok Timur, EMHC (Emergency Medical Handling Center), Damkar, porter lokal, serta para relawan independen.
Agam Rinjani Bergerak Karena Kemanusiaan
Pada saat tragedi terjadi, Agam Rinjani sedang berada di Jakarta dan Bogor untuk urusan pribadi. Ia mengetahui kabar jatuhnya Juliana dari media sosial dan informasi yang dibagikan oleh kawan-kawan porter di gunung Rinjani. Perasaan gelisah dan rasa tanggung jawab membuatnya memutuskan untuk kembali ke Lombok.
Pada hari ketiga pascakejadian, Agam tiba di Rinjani dan langsung berkomunikasi dengan tim penyelamat dan porter yang telah berada di lokasi. Meski bukan bagian dari tim SAR resmi, kehadirannya sangat berarti karena Agam membawa tambahan peralatan, tali panjang, dan keahlian teknis yang diperlukan untuk kondisi medan berat.
Agam bahkan sempat disangka sebagai pemandu yang menemani Juliana karena keterlibatannya sangat aktif. Namun ia menegaskan bahwa saat kejadian, ia tidak sedang membawa tamu atau mendampingi pendakian siapa pun.
Medan Ekstrem & Duka yang Mendalam

Tim SAR gabungan mengevakuasi jenazah Juliana Martins menggunakan tandu khusus dari jurang terjal Gunung Rinjani, NTB, pada Juni 2025.
Menurut kesaksian Agam, Juliana sempat berpindah posisi setelah jatuh pertama kali, agar tetap terlihat dari atas. Ia melambaikan tangan dan berteriak meminta pertolongan. Namun nahas, Juliana kembali terpeleset karena medan yang sangat curam dan jatuh lebih dalam hingga mencapai kedalaman 400 meter, di lereng dengan kemiringan nyaris 90 derajat.
Proses evakuasi sangat sulit dan berisiko tinggi. Agam Rinjani adalah orang terakhir yang naik dari dasar jurang setelah berhasil mengangkat jenazah Juliana ke atas bersama tim. Ia bahkan harus bermalam di dekat jenazah karena cuaca buruk dan potensi longsor batu memaksa tim evakuasi untuk menghentikan gerakan demi keselamatan.
Agam juga terkena hujan batu akibat pergerakan tali dari orang-orang di atas yang sedang menarik tubuhnya bersama tandu ke permukaan. Kondisi ini menggambarkan betapa ekstrem dan berbahayanya operasi penyelamatan tersebut.
Mengapa Tidak Menggunakan Helikopter?
Banyak pihak mempertanyakan mengapa helikopter tidak digunakan sejak awal. Menurut Agam, medan di lokasi sangat terjal, sempit, dan penuh kabut tebal sehingga tidak memungkinkan helikopter untuk mendarat atau bahkan mendekat.
Meskipun helikopter telah disiagakan, tidak ada satu pun pilot yang memiliki pengalaman mendarat di lereng curam Gunung Rinjani. Risiko tinggi dan kondisi angin gunung yang tidak stabil membuat opsi helikopter dianggap terlalu berbahaya untuk dicoba saat itu.
Kekurangan Alat, Saran untuk Masa Depan
Selama proses evakuasi, tim menghadapi banyak kendala, salah satunya adalah kekurangan alat. Tali panjang, alat panjat, hingga sleeping bag untuk flying camp harus ditunggu dari bawah, yang memakan waktu hingga tiga hari. Agam menekankan pentingnya kesiapan logistik di setiap pos pendakian.
Ia menyarankan agar alat-alat rescue seperti harness, karabiner, tali, dan alat komunikasi ditempatkan di pos-pos strategis di sepanjang jalur pendakian. Selain itu, ia juga mendorong pelatihan intensif dan pelisensian untuk porter dan relawan lokal agar mampu bertindak cepat dan efektif saat menghadapi situasi serupa.
Donasi dari Brasil dan Harapan untuk Rinjani
Setelah tragedi ini, Agam menerima panggilan dari media televisi di Brasil. Warga Brasil yang mengikuti kabar ini dari awal menginisiasi penggalangan dana sebagai bentuk apresiasi dan dukungan terhadap Agam.
Awalnya Agam menolak menerima donasi tersebut, karena ia merasa apa yang ia lakukan adalah panggilan hati, bukan untuk mendapat penghargaan. Namun setelah dijelaskan bahwa dana itu bisa digunakan untuk membeli alat-alat penyelamatan, ia akhirnya menerima dengan niat tulus.
Agam merencanakan penggunaan donasi tersebut untuk:
- Membeli peralatan evakuasi dan dibagikan ke porter serta tim rescue
- Memberikan apresiasi kepada para relawan yang terlibat langsung
- Membeli bibit pohon dan melakukan penanaman kembali di kawasan Rinjani
- Meningkatkan fasilitas pelatihan dan kesiapsiagaan SAR lokal
Rasa Kehilangan dan Penyesalan
Agam Rinjani mengaku merasakan duka mendalam atas meninggalnya Juliana Martins. Ia menyalahkan dirinya sendiri karena merasa seharusnya bisa mencegah tragedi itu terjadi jika saja ia berada di lokasi sejak awal.
“Kalau saja saya ada di Rinjani sejak awal, mungkin saya bisa menyelamatkan Juliana,” ucap Agam lirih. Penyesalan itu terus membekas dalam dirinya dan menjadi pemacu semangat untuk membenahi sistem keselamatan pendakian gunung di Indonesia.
Penutup: Pelajaran dari Tragedi Rinjani
Kisah ini bukan hanya tentang kehilangan seorang pendaki muda dari Brasil, tapi juga tentang solidaritas, rasa kemanusiaan, dan pentingnya kesiapan dalam operasi penyelamatan gunung.
Kehadiran sosok seperti Agam Rinjani menjadi bukti bahwa jiwa kemanusiaan dapat melampaui batas kewenangan formal. Semoga tragedi ini menjadi pelajaran bagi semua pihak agar keselamatan pendaki lebih diperhatikan, dan infrastruktur evakuasi gunung di Indonesia terus diperbaiki dengan serius.